Wujudkan Indonesia Maju, Ketua DPD RI Minta Pemerintah Tingkatkan Industri Manufaktur
JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berharap pemerintah meningkatkan industri manufaktur.
Menurutnya, industri manufaktur bukan hanya menyerap banyak tenaga kerja. Tetapi juga menjadi jalan bagi Indonesia untuk menuju negara maju.
“Potensi Indonesia menumbuhkan dunia industri pengolahan masih terbuka lebar. Karena kita memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Ditunjang dengan nilai investasi yang terus tumbuh, maka potensi itu harus dapat kita wujudkan,” ujar LaNyalla, Rabu (24/11/2021).
Industri pengolahan Indonesia kini menembus angka 72,9%, sisanya adalah hasil tambang 20,6%, migas 4,6%, dan pertanian 1,85%. Di sektor sawit misalnya, porsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tinggal 10-20%, selebihnya merupakan produk olahan CPO.
“Meskipun saat ini Indonesia masih berada pada posisi lower middle income economy, namun Indonesia memiliki potensi untuk terus meningkatkan pendapatan perkapita, minimal USD12.696 setahun agar kita mampu masuk menjadi negara maju,” imbuhnya.
Ditambahkan LaNyalla, transformasi dari ekonomi berbasis komoditas ke manufaktur yang mulai dilakukan Indonesia sudah tepat dilakukan. Namun dia mengingatkan agar pemerintah melakukan prioritas pada industri yang memiliki sumber daya memadai.
“Kita memacu industrialisasi untuk berorientasi ekspor. Makanya pengolahan sumber daya alam itu perlu ditunjang dengan SDM dan teknologi pengolahan produksi industri yang berkualitas,” papar Alumnus Universitas Brawijaya itu.
Untuk melancarkan transformasi, menurut LaNyalla, memerlukan modal masuk yang besar agar investasi juga naik. Disitulah kemudian implementasi omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja sangat perlu dikawal dari pusat hingga daerah supaya benar-benar berjalan efektif.
“Tujuan utama omnibus law UU Ciptaker adalah menyederhanakan perizinan dan memudahkan bisnis di Tanah Air. Dengan semakin banyak investasi masuk artinya produksi berjalan, kemudian ada ekspor dan ekonomi tumbuh. Termasuk penyerapan tenaga kerja,” tuturnya.
Di sisi lain, persoalan biaya tinggi yang jamak terjadi di Indonesia harus diselesaikan jika ingin investasi dan pertumbuhan ekonomi naik.
“Tolong pungli ditertibkan, kemudian pajak sebaiknya juga diturunkan mengingat ekonomi kita masih dalam pandemi seperti ini,” ujarnya.
LaNyalla menyontohkan Singapura yang menerapkan pajak penghasilan perusahaan 17%, dengan infrastruktur lebih baik dan kepastian hukumnya lebih kuat. Sementara tarif pajak penghasilan (PPh) badan dalam negeri dan bentuk usaha di Indonesia masih sebesar 22%.(***)