Perjalanan Panjang Karaton Sumedang Larang
SUMEDANG – Karaton Sumedang Larang (KSL) termasuk salah satu kerajaan berpengaruh di Jawa Barat, selain Kerajaan Pajajaran, Keraton Kasepuhan Cirebon, Kerajaan Banten dan Kerajaan Galuh.
Berawal dari munculnya Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih pada 678 Masehi di Citembong Girang, Desa
Cikeusi, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Prabu Aji Putih merupakan keturunan Raja Wretikandayun, penguasa Kerajaan Galuh, salah satu pecahan dari Kerajaan Tarumanegara, selain Kerajaan Sunda, yang runtuh pada abad ke-7 Masehi.
Prabu Tajimalela, putra tertua Prabu Aji Putih, sekitar tahun 950 Masehi mewarisi tahta dari ayahnya. Dia mengganti nama Kerajaan Tembong Agung menjadi Kerajaan Himbar Buana, sebelum diganti lagi dengan nama Kerajaan Sumedang Larang.
Prabu Tajimalela mengukuhkan tradisi Sunda dengan mengenalkan filosofi dari Himbar Buana yang berarti Menerangi Alam versi bahasa Sunda
kuno. Selain itu dia juga mempopulerkan jargon “Insun Medal, Insun Madangan”
yang berarti aku dilahirkan dan aku menerangi.
Hal itulah yang kemudian
menjadi dasar nama Sumedang Larang, “Sun Madang” yang artinya menerangi, dan Larang yang artinya tidak tertandingi.
Tahta Prabu Tajimalela diteruskan oleh putranya yang bergelar Prabu Gajah
Agung. Raja ke-2 KSL ini diperkirakan mulai duduk di singgasana sejak tahun 980 Masehi. Dialah yang memindahkan pusat pemerintahan ke Pesanggrahan, Ciguling, Sumedang.
Selanjutnya penguasa Sumedang Larang adalah Prabu Wiraraja alias Jayabaya atau dikenal sebagai Sunan Pagulingan/Sunan Guling, anak dari Prabu Gajah Agung.
Meski memakai gelar sunan namun belum ada bukti kuat bahwa kerajaan menganut Islam. Begitu pula untuk raja ke-5 yang kerap disebut sebagai Sunan Tuakan (1200 M).
Berdasarkan bukti sahih, Sumedang Larang baru dipastikan menjadi kerajaan bercorak Islam pada masa
pemerintahan Pangeran Santri (1530-1579 M). Dia adalah keturunan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon. Dilantik sebagai Raja di Kerajaan Sumedang Larang karena beristri Ratu Pucuk Umun, yang merupakan keturunan dari raja-raja Sumedang Larang
sebelumnya.
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun
dikaruniai anak laki-laki bernama Angkawijaya.
Pangeran Angkawijaya memegang kepemimpinan Sumedang Larang sejak 1578 dengan gelar Prabu
Geusan Ulun. Tepatnya pada tanggal 22 April 1578.
Saat itu penobatan Prabu Geusan Ulun, bertepatan dengan kedatangan utusan dari Kerajaan Pajajaran untuk menyerahkan Mahkota Binokasih – yang dibuat pada masa Prabu Bunisora (1357-1371) kepada Kerajaan Sumedang Larang.
Mahkota Binokasih terbuat dari emas dengan motif Batara Rama. Ini melambangkan keluhuran seorang raja agar miliki sifat seperti Batara Rama.
Kerajaan Pajajaran saat itu mengalami serangan gabungan Kerajaan Banten dan Cirebon. Penyerahan Mahkota Binokasih dan seluruh atribut kerajaan dimaksudkan agar Kerajaan Sumedang Larang menjadi penerus kekuasaan Pajajaran.
Peristiwa sejarah dari Kerajaan Sumedang Larang itu kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang berdasarkan keputusan DPRD nomor 1/KPTS/DPRD/SMD/1973 tanggal 8 Oktober 1973.
Baru setahun Prabu Geusan Ulun bertahta Kerajaan Pajajaran runtuh. Kerajaan Sumedang Larang semakin kukuh sebagai penjaga Trah Sunda dari Kerajaan
Pajajaran.
Pendeklarasian ini mendapat dukungan dari berbagai pihak mengingat Prabu Geusan Ulun adalah keturunan raja-raja di tanah Sunda.
Apalagi Mahkota Pajajaran sudah di tangan Prabu Geusan Ulun.
Selain memiliki legitimasi yang kuat,
wilayah kekuasaan Sumedang Larang pun bertambah luas berkat hibah dari Kerajaan Pajajaran. Hampir menguasai seluruh Jawa Barat, kecuali wilayah yang dimiliki Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon.
Di bawah pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Sumedang Larang
mencapai puncak kejayaan. Setelah Prabu Geusan Ulun meninggal tahun 1601 M, Sumedang Larang dipimpin Prabu Suriadiwangsa (1601-1620 M).
Saat ini Raja Karaton Sumedang Larang adalah Paduka Yang Mulia H.R.I Lukman Soemadisoeria.(*)