Masuk KEN 2021, Panitia Festival Tanjung Waka Tak Libatkan Masyarakat dan Para Penggagas
Kabupaten Kepulauan Sula merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara yang dimekarkan menjadi kabupaten baru pada tahun 2003. Kabupaten yang terletak paling selatan di wilayah Provinsi Maluku Utara ini beribukota di Sanana. Kabupaten Kepulauan Sula terdiri dari dua pulau besar, yakni Pulau Sulabesi dan Pulau Mangole.
Selain memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Kepulauan Sula juga memiliki potensi pariwisata yang sangat luar biasa mempesona. Tak hanya wisata alamnya, tetapi juga wisata sejarah, kuliner dan geowisatanya. Potensi ini sangatlah layak untuk dikembangkan sebagai potensi unggulan di Kabupaten Kepulauan Sula.
Kepulauan Sula terkenal dengan jejeran pulau-pulau dengan pantai pasir putihnya dan keindahan bawah lautnya yang sangat menawan. Meski menjadi salah satu kabupaten dengan potensi wisata bahari yang besar di Indonesia, nyatanya pariwisata Kepulauan Sula sampai dengan saat ini belum tergarap dengan maksimal.
Perhatian pemerintah daerah terhadap sektor pariwisata di Kabupaten Kepulauan Sula masih dipandang sebelah mata dan dianaktirikan. Pariwisata belum dilirik sebagai potensi yang menguntungkan dan bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dalam jangka pendek. Pariwisata juga belum dijadikan sebagai sektor unggulan di Kabupaten ini. Hal ini terlihat dari minimnya infrastruktur penunjang dan ketersedian aksesibilitas dari dan menuju ke destinasi wisata di Kabupaten Kepulauan Sula. Faktor lain bisa dilihat dari minimnya data angka kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara di setiap tahunnya. Bahkan bila dihitung, tak akan pernah penuh walau menggunakan jari.
Atas dasar kepedulian untuk terus mengembangkan dan mempromosikan potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Kepulauan Sula, pada tahun 2015 lahir sebuah gagasan dari beberapa tokoh pemuda di Desa Fatkauyon untuk menyelenggarakan sebuah event pariwisata di Kabupaten Kepulauan Sula. Event itu adalah “Festival Tanjung Waka”. Festival ini dilaksanakan di Tanjung Waka yang berada di desa Fatkauyon. Mengingat Desa Fatkauyon memiliki potensi wisata pantai berpasir putih sepanjang tujuh kilometer yang menjadi habitat dari penyu hijau (Chelonia mydas).
Awalnya, Festival Tanjung Waka merupakan sebuah event pariwisata yang murni dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Dengan penuh semangat, para pemuda di desa saling bahu membahu membantu mempersiapkan segala keperluan demi suksesnya penyelenggaraan Festival Tanjung Waka. Pelaksanaan festival ini bertujuan untuk mengangkat dan mempromosikan potensi pariwisata dan budaya serta meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kepulauan Sula.
“Sebenarnya event festival ini berawal dari kunjungan wisatawan mancanegara ke Kepulauan Sula. Mereka berjumlah 12 orang yang berasal dari Amerika Serikat. Kunjungan mereka inilah yang membuat kami berfikir untuk membuat sebuah event kecil untuk menyambut wisatawan mancanegara,” ungkap Ko Roy, salah satu penggagas Festival Tanjung Waka.
Ko Roy bilang, masyarakat sangat antusias dan bersemangat untuk menyambut rencana ini. Ia bersama masyarakat secara swadana mencari dana untuk melaksanakan event ini. Setelah dana terkumpul dan merasa sudah cukup, mereka lalu memanfaatkan media sosial untuk sarana promosi Festival Tanjung Waka dan ternyata sangat berdampak besar. Hasilnya tanpa diduga, ribuan wisatawan lokal pun membludak di lokasi festival,” kata Ko Roy.
Tahun 2016 adalah tahun kedua pelaksanaan Festival Tanjung Waka. Pada pelaksanaannya, mulai terlihat ada peningkatan jumlah angka kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara dari tahun sebelumnya.
Dikarenakan alasan tidak memiliki dana, pada tahun 2017 Festival Tanjung Waka gagal dilaksanakan. Di tahun 2018, festival kembali diselenggarakan, tetapi dengan menggunakan dana hasil swadaya dari masyarakat setempat. Pelaksanaan Festival Tanjung Waka 2018 juga merupakan sebuah momentum penting dan bersejarah bagi Generasi Pesona Indonesia (GenPi) Kepulauan Sula. Pada momen itu, GenPi Kabupaten Kepulauan Sula dideklarasikan oleh Bupati Kepulauan Sula, Hendrata Thes. Festival Tanjung Waka 2018 berhasil mendatangkan wisatawan lokal sebanyak lima ribu orang.
Untuk gencar mempromosikan, panitia lokal berkolaborasi dengan GenPi Maluku Utara. Tujuannya untuk membantu mempromosikan festival ini agar lebih dikenal oleh masyarakat luas. Genpi Maluku Utara juga terlibat memproduksi konten-konten promosi dan juga secara langsung membantu pelaksanaan teknis di lapangan serta mendokumentasikan setiap rangkaian kegiatan.
Seiring berjalannya waktu, Festival Tanjung Waka makin berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi pariwisata di Kabupaten Kepulaun Sula dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kepulauan Sula. Festival Tanjung Waka juga berhasil mendapat perhatian dari Pemda Kabupaten Kepulauan Sula. Pada tahun 2019, Festival Tanjung Waka telah diambil ahli oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sula, dalam hal ini oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sula. Secara pembiayaan Festival Tanjung Waka 2019 menggunakan dana dari APBD.
Dalam pelaksanaannya, Festival Tanjung Waka 2019 makin berbeda dikarenakan konten-konten acaranya makin kreatif dan inovatif. Dari hasil kolaborasi masyarakat Desa Fatkauyon bersama Dinas Pariwisata Kepulauan Sula dan beberapa komunitas, membuat festival kampung ini menjadi berkelas dan masuk dalam daftar 10 festival terbaik di Maluku Utara. Sebanyak delapan ribu wisatawan lokal tercatat hadir meramaikan dan menikmati keseruan rangkain acara festival yang berlangsung di Pantai Pasir Putih Tanjung Waka.
Di tahun 2020, Festival Tanjung Waka batal dilaksanakan dikarenakan wabah virus Covid-19 yang masih merebak di belahan dunia. Masih di tahun yang sama, Festival Tanjung Waka mulai dilirik oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI sebagai salah satu festival yang layak masuk dalam Kharisma Event Nusantara 2021.
Menurut Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Kepsul, Muhammad Drakel, walaupun tahun ini masih pandemi, tapi di tahun 2021 ini merupakan tahun keberuntungan bagi Dinas Pariwisata Kepulauan Sula, karena festival yang menjadi kebanggan masyarakat Sula ini telah masuk dalam daftar KEN 2021 selain Festival Teluk Jailolo dan Festival Tidore.
“Sebelumnya ada tiga Festival di Maluku Utara yang telah ditetapkan oleh Kemenparekraf masuk dalam KEN 2021, yaitu Festival Teluk Jailolo, Festival Tidore dan Festival Morotai. Karena alasan pandemi dan masih menerapkan PSPB di Kabupaten Pulau Morotai. Akhirnya Festival Morotai 2021 batal dilaksanakan di tahun ini,” kata Drakel.
Melihat Festival Morotai batal dilaksanakan, Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sula tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dengan gerak cepat Dinas Pariwisata Kepulauan Sula langsung tancap gas dengan membentuk tim kreatif untuk mematangkan konsep Festival Tanjung Waka yang nantinya konsep tersebut akan dibawa ke Jakarta.
“Alhamdulillah, tim kreatif Dinas Pariwisata Kabupaten Kepuluan Sula berhasil dengan baik mempresentasikan Festival Tanjung Waka di hadapan para kurator KEN 2021. Hasilnya, Festival Tanjung Waka berhasil masuk dalam Khrisma Event Nusantara (KEN) 2021. FTW 2021 rencananya akan digelar pada bulan Oktober 2021 mendatang. Semoga pelaksanaan FTW 2021 dapat berjalan lancar sesuai dengan rencana dan harapan,” kata Drakel, yang juga sebagai salah satu penggagas Festival ini.
Sayangnya, keberhasilan dan prestasi yang diraih oleh tim kreatif bentukan Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sula kurang mendapat perhatian dari Bupati terpilih Fifian Adeningsih Mus, yang juga baru saja dilantik.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pepatah ini mungkin cocok dengan nasib beberapa pejabat dilingkup Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sula. Bukannya penghargaan yang diberikan kepada mereka yang telah berhasil memperjuangkan Festival Tanjung Waka hingga menjadi event nasional, melainkan para pejabat Dinas Pariwisata Kepulauan Sula yang juga bagian dari tim kreatif terpaksa harus menelan pil pahit karena telah menjadi korban politik dagang sapi.
Padahal kalau dilihat, mereka telah mengukir sebuah prestasi yang membanggakan bisa membawa Kepulauan Sula satu langkah lebih maju dari kabupaten lain di Maluku Utara dan Indonesia khususnya.
Setelah Festival Tanjung Waka ditetapkan oleh Kemenparekraf sebagai salah satu festival di Maluku Utara yang masuk dalam KEN 2021, kabar gembira ini justru menjadi masalah di Kabupaten Kepulauan Sula. Masalahnya adalah Bupati Kepulauan Sula, Fifian Adeningsih Mus secara sepihak mengantikan Kepala Dinas Pariwisata Kepulauan Sula, M Jufri Umasugi dengan menunjuk Rizal Drakel sebagai pelaksana tugas (Plt), serta menunjuk Kepala Bappeda Kepulauan Sula, Kajuhwan Fatgehipon sebagai Ketua Panita Festival Tanjung Waka 2021.
Masalah ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, salah satunya adalah tokoh masyarakat Desa Fatkauyon. Dia menyampaikan, “Sebaiknya pelaksanaan Festival Tanjung Waka 2021 dikembalikan saja ke masyarakat Desa Fatkauyon, agar tidak dinilai politis yang cenderung banyak menimbulkan penafsiran politis pula, hingga terjadi tindakan destruktif, baik pemalangan jalan di Desa Baleha dan tindakan penolakan warga lainnya. Masalah ini bisa berakibat gagalnya pelaksanaan event nasional kebanggaan masyarakat Sula. Kalau dikembalikan ke masyarakat itu murni karena prestasi warga. Pemerintah hanya memfasilitasi dan menjadi mediator untuk memperjuangkan prestasi warga yang telah bekerja keras hingga Festival Tanjung Waka bisa lolos dalam KEN 2021,” kata laki-laki yang enggan menyebutkan namanya itu.
Dia juga menambahkan, “Yang menjadi kekhawatiran torang (kami) saat ini adalah panitia yang baru di tunjuk oleh Bupati Kepulauan Sula ini tidak mampu menerjemahkan dan mengeksekusi konsep Festival Tanjung Waka 2021. Setahu saya, event festival ini bukan sama halnya dengan kegiatan-kegiatan pemda yang hanya berisi seremoni belaka dan tak mempunyai dampak sama sekali. Mengelola event pariwisata itu tidak semudah yang dipikirkan, apalagi ini adalah event nasional, butuh kemampuan khusus untuk mengelolanya.”
“Yang bikin kami tambah bingung lagi, panitia tidak pernah melibatkan masyarakat, komunitas dan juga para penggagas Festival Tanjung Waka ini. Terutama masyarakat desa Fatkauyon yang merupakan pencetus sekaligus pemilik lokasi Festival Tanjung Waka,” tambahnya.
Komentar yang sama juga dilontarkan oleh Ketua GenPi Kepulauan Sula, Iksan Buamona. Katanya, GenPi Sula jelas tidak berpihak ke siapapun. “Kami tetap menjaga keseimbangan. Soal panitia kabupaten tidak melibatkan GenPi, itu urusan lain. Tapi jelas bahwa sepengetahuan kami, festival ini dari awal bukan atas inisiatif pemda. Festival ini adalah asli hajatan masyarakat Desa Fatkauyon yang sudah eksis selama lima tahun terakhir. Dari awal proses sampai masuk KEN 2021 Kemenparekraf, GenPi Sula terlibat dan membantu jalannya proses itu, sehingga GenPi Sula sangat paham kondisi saat proses itu berjalan hingga saat ini,” kata pria yang biasa disapa Canox ini, saat dihubungi lewat telepon.
Canox bilang, Festival Tanjung Waka adalah milik rakyat Fatkauyon. “Jadi pemda seharusnya mengembalikan festival tersebut untuk dikelola oleh masyarakat Fatkauyon. sebagai komunitas yang tusinya mempromosi hajatan pariwisata dan kebudayaan di Kabupaten Kepulauan Sula dan sebagai bentuk tanggung jawab anak negeri, GenPi Sula akan selalu bersama masyarakat Fatkauyon yang siap membantu dan mendukung suksesnya pelaksanaan Festival Tanjung Waka 2021 tanpa ada embel-embel apapun, GenPi Sula siap Gaspol,” tutup Canox dengan penuh semangat.
Seperti yang diketahui Kharisma Event Nusantara 2021 merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mendorong kebangkitan ekonomi kreatif di Indonesia. Adanya event parekraf ini diharapkan dapat membantu menggerakkan perekonomian nasional yang terpuruk akibat pandemi COVID-19. Selain itu, Kharisma Event Nusantara 2021 merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo. Terutama dalam mempertahankan jumlah lapangan kerja dan mendorong perekonomian Indonesia.
Tidak semua event festival di Indonesia masuk dalam Kharisma Event Nusantara 2021. Untuk bisa masuk di KEN 2021 bukanlah hal yang mudah. Ada tiga aspek utama yang menjadi kriteria penilaian oleh tim kurator. Pertama adalah aspek kreativitas berbasis teknologi digital dan inovasi (digital 4.0). Selanjutnya berdasarkan aspek kolaborasi berbasis potensi lokal (local wisdom) dan pemberdayaan masyarakat (empowering). Terakhir adalah aspek adaptasi yang berbasis protokol CHSE.
Sejatinya, manusia adalah makhluk yang ingin diapresiasi dari hasil usahanya, sekecil apapun itu. Tidak ada hasil karya yang dihasilkan dari jalan yang lurus-lurus saja, mudah-mudah saja, tanpa ada usaha dan proses yang menyertainya. Hasil karya tidak ada yang instan dan tanpa proses, semakin berkualitas karya seseorang maka semakin keras pula prosesnya. Maka hargailah karya orang lain.(*)